Akhir

Puan dan Tuan adalah satu
Mereka tumbuh beriring janji
Kembali pulang tuk bertemu

Puan dan Tuan sudah tak satu
Tuan berlabuh, lalu menetap
Menata batu, menyusun atap

Puan dan Tuan dulu satu
Kini Puan selami lautan
Air mata yang haru biru

Puan dan Tuan pisah perahu
Ditutupnya buku nan usang
Dikecupnya kening Puan nan malang

Tuan tersenyum mengangguk kecil
Puan tersenyum melambai tangan
Puan dan Tuan terpatri dalam kenangan

June 29, 2018

She was scooping out her oreo mcflurry while humming to our favourite song that was played on the radio. She suddenly stopped and tapped her fingers on the steering wheel.

“Why you keep knocking people away? I don’t understand.”

I took a sip of my iced coffee and looked outside. I cranked down the car window to let the wind caress my face and to let a deep sigh come out of my lips.

” You think I do?

You don’t?”

Nobody does. Neither do I.”

February 13, 2020

“Setiap orang datang dengan lukanya masing-masing, Yas. Dan ga sedikit yang berusaha menutupinya. Ga apa-apa“, ucap temanku lirih berusaha menenangkanku yang berlinang air mata namun tetap mengunyah kentang goreng.

October 25, 2019

If, between us
Most of the things are better left unspoken
Is there anything we could do
To prevent the fire from burning our bridges down
To never let the sparks die before our eyes

If, between us
Everything is better left unspoken
Will you be fine
Will your soul be okay
Befriending loneliness you’ve been trying hard to get rid of

If, between us
There’s nothing left
Will you be there
When I call your name?

January 20, 2018

Do you know when its raining

instant noodle feels tempting?

But to the kitchen I’m looking,

I found nothing.

I dig further into places

then it’s kind of like surprises,

a carton of pasta and spices,

be the joy of my morning wishes.

(06:02 AM)

I came across our memories, to remember how beautiful it was. I came across our broken promises, to remember how painful it was. The genuine smiles, the silent cries, the bittersweet end, and whole nine yards. Why would I forget you at the drop of a hat?

Thru the Path We have Chosen

We chose to walk on different paths, waving goodbye and sending our last kiss within the air.
Elvis has left the building. The journey has come to an end. The journey of us finally letting each other grow into the best version of ourselves, into somebody we each have been dreaming to be — way far before we met.
It is not us missing the boat. It is us loving in different forms. One said that to let go and to move on is way to love whilst it hurts to have each other being.
It is not us giving up. It is us trusting God. Let alone He write the scenario. Whatever the ending will be, I believe He is the best director of one’s life.

Until the wisdom dwells in our hearts, I’ll see you again.

Zombie dan Perasaannya

Hari ini, seseorang mengabarinya melalui pesan singkat bahwa seseorang tersebut sedang menangis karenanya. Padahal, ia tidak pernah bermaksud membuat orang lain bersedih.

Di tengah ramainya j.co sore ini, ia duduk sendiri, ditemani laptop, segelas macchiato double shot dan dua lembar tisu. Di samping kanannya, dua laki-laki dan seorang perempuan paruh baya tengah serius mendiskusikan proyek yang berhubungan dengan pekerjaan si perempuan sambil tertawa kecil dan sesekali mengecek telepon genggamnya. Mungkin diskusinya tidak lagi serius. Di sampingnya kirinya, perempuan masih muda, sepertinya mahasiswi yang sedang sibuk belajar karena laptop dan beberapa bukunya ada di atas meja. Namun setelah dilirik, perempuan ini sedang streaming youtube.

Kalimat serta paragraf ini dan sebelumnya ia ketik tanpa jeda untuk mengalihkan pikirannya yang penuh cabang, kalang kabut, seperti monorail yang melaju cepat tanpa rem. Kacau. Ia tidak bermaksud membuat seseorang itu menangis. Bagaimana mungkin – ia yang setiap hari mati-matian menutupi betapa sesak dadanya, menahan tangis yang pada hari ini sudah genap tiga bulan dibendung, dan sudah tidak memiliki tenaga untuk tersenyum ikhlas – tega membuat orang lain menangis?

Tapi, saat ini ia sadar…

Mungkin, menangis adalah hal yang lumrah untuk dilakukan. Daripada pura-pura hidup seperti zombie, tanpa perasaan, kecuali rasa sakit dan sesak. Dan mungkin, memberi tahu orang lain bahwa dirinya sedang bersedih adalah hal yang tidak memalukan dan bukan sesuatu yang keliru. Karena yang salah adalah, menarik diri terlalu lama, menganggap dirinya diabaikan padahal ia yang sibuk mengabaikan puluhan panggilan telepon dari sahabat-sahabatnya. Yang salah adalah, memaksakan dirinya untuk terus menerus terlihat bahagia setiap ia keluar rumah, padahal bahagia tidak dapat dipaksa. Yang salah adalah, berdebat dengan pikirannya sendiri kalau tubuhnya terbuat dari besi setiap ingin tidur, sampai alarm sholat malam di rumahnya berbunyi, ia masih terjaga dalam rasa lelah. Yang salah adalah, tidak pernah mau jujur terhadap dirinya sendiri, karena takut orang lain akan kecewa pada diri yang sebenarnya.

Sampai pada akhirnya ia benar-benar sadar, yang salah adalah dirinya sendiri. Dan rangkaian kata ini ia tulis sebagai awal untuk jujur pada dirinya sendiri, mungkin juga pada beberapa yang membaca tanpa sengaja. Maaf bila waktunya tebuang sia-sia. Semoga Tuhan mengampuni kesia-siaan tersebut.

Nanti malam sepertinya ia akan menangis, karena saat ini ia tidak dapat melakukannya. Bukan, bukan karena ingin mengelabui hatinya lagi. Tapi ia malu untuk menangis sendirian di tengah kerumunan orang yang tidak ia kenal sama sekali. Takut disangka gila.

CATATAN: Ia tidak tahu apakah zombie dapat merasa sedih atau tidak. Belum pernah bertemu. Jangan sampai bertemu.

Expecting

She doesn’t know what the future holds but she hopes he’s in it. She bets its just her delusional expectation thinking she deserves to put him in frame when she pictures how her next ten years will be.

Its just a delusion, she repeats to herself. But she’s wise enough not to be ignorant towards those scattered evidences and strong alibi. She doesn’t want to be a naive ingenue anymore.

What if it turns into an unrequited love, she asks herself.

Will he be there?

A Vivid Goodbye

The pouring rain became a cloudburst in a minute, the streak of lightening was seen behind the curtains, and the sounds of the thunder was heard distinctly. Hiding under super thick blanket couldn’t stop the cold to come after her so she rolled herself over to the edge of the bed, pulled the drawer open and took her favourite shocking pink socks.

Contemplating, she knew it was too late for her to realize, and it was too early to regret. And, it was too sudden for him to leave, neither with a single trace, nor a vivid goodbye.

Her chest felt heavy, like it was restraining something huge that came from her heart. Perhaps it was her feelings, perhaps it was her grief–she was not sure either.

That night, she began to cry.

Blog at WordPress.com.

Up ↑