Hari ini, seseorang mengabarinya melalui pesan singkat bahwa seseorang tersebut sedang menangis karenanya. Padahal, ia tidak pernah bermaksud membuat orang lain bersedih.
Di tengah ramainya j.co sore ini, ia duduk sendiri, ditemani laptop, segelas macchiato double shot dan dua lembar tisu. Di samping kanannya, dua laki-laki dan seorang perempuan paruh baya tengah serius mendiskusikan proyek yang berhubungan dengan pekerjaan si perempuan sambil tertawa kecil dan sesekali mengecek telepon genggamnya. Mungkin diskusinya tidak lagi serius. Di sampingnya kirinya, perempuan masih muda, sepertinya mahasiswi yang sedang sibuk belajar karena laptop dan beberapa bukunya ada di atas meja. Namun setelah dilirik, perempuan ini sedang streaming youtube.
Kalimat serta paragraf ini dan sebelumnya ia ketik tanpa jeda untuk mengalihkan pikirannya yang penuh cabang, kalang kabut, seperti monorail yang melaju cepat tanpa rem. Kacau. Ia tidak bermaksud membuat seseorang itu menangis. Bagaimana mungkin – ia yang setiap hari mati-matian menutupi betapa sesak dadanya, menahan tangis yang pada hari ini sudah genap tiga bulan dibendung, dan sudah tidak memiliki tenaga untuk tersenyum ikhlas – tega membuat orang lain menangis?
Tapi, saat ini ia sadar…
Mungkin, menangis adalah hal yang lumrah untuk dilakukan. Daripada pura-pura hidup seperti zombie, tanpa perasaan, kecuali rasa sakit dan sesak. Dan mungkin, memberi tahu orang lain bahwa dirinya sedang bersedih adalah hal yang tidak memalukan dan bukan sesuatu yang keliru. Karena yang salah adalah, menarik diri terlalu lama, menganggap dirinya diabaikan padahal ia yang sibuk mengabaikan puluhan panggilan telepon dari sahabat-sahabatnya. Yang salah adalah, memaksakan dirinya untuk terus menerus terlihat bahagia setiap ia keluar rumah, padahal bahagia tidak dapat dipaksa. Yang salah adalah, berdebat dengan pikirannya sendiri kalau tubuhnya terbuat dari besi setiap ingin tidur, sampai alarm sholat malam di rumahnya berbunyi, ia masih terjaga dalam rasa lelah. Yang salah adalah, tidak pernah mau jujur terhadap dirinya sendiri, karena takut orang lain akan kecewa pada diri yang sebenarnya.
Sampai pada akhirnya ia benar-benar sadar, yang salah adalah dirinya sendiri. Dan rangkaian kata ini ia tulis sebagai awal untuk jujur pada dirinya sendiri, mungkin juga pada beberapa yang membaca tanpa sengaja. Maaf bila waktunya tebuang sia-sia. Semoga Tuhan mengampuni kesia-siaan tersebut.
Nanti malam sepertinya ia akan menangis, karena saat ini ia tidak dapat melakukannya. Bukan, bukan karena ingin mengelabui hatinya lagi. Tapi ia malu untuk menangis sendirian di tengah kerumunan orang yang tidak ia kenal sama sekali. Takut disangka gila.
CATATAN: Ia tidak tahu apakah zombie dapat merasa sedih atau tidak. Belum pernah bertemu. Jangan sampai bertemu.